A FICTION.
SAN FRANCISCO, 4690 Mission St.
LAUNDRY SERVICE 24HR
1.45 AM
Malia : Oh kamu nyuci juga? Kirain lupa kebutuhan laundry-nya
Bima : Oh kamu orang Indo? aku kira Thai Hahaha, isinya 12kg, dua minggu.
Malia : Lazy-ass. Ini bukan di Indo, gak ada pembantu.
Bima : Ini musim dingin.
Malia : Alesan aja.
Bima : Excuse me sir, can I get little bit softener?
Malia : Aku ada nih
Bima : I am Indipendent. Can I sir?
Malia : *tertawa pelan* Don't be harsh with your self, mr.newbie
Bima : Whateve
Bima : Are you done? aku duduk di situ yah.
Malia : Just gimme a sec, ini seprai ketumpahan apalah entah.
Bima : Okey
Bima duduk di tempat tunggu seperti biasa. Malam ini ia tidak bisa tidur dan tahu satu-satunya tempat untuk melepaskan kelelahannya adalah di tempat cuci-bersih 24 jam.
Adegan 6 tahun lalu itu terus berulang-ulang dihadapan Bima. Laundry service ini adalah tempat dimana ia bertemu Malia pertama kali. Dengan rambut keriting, tanpa polesan bedak dan hanya memakai hoodie abu-abu, Malia tidak segan menyapa Bima, si anak bawang, yang belum tau apa-apa tentang kota barunya.
Malam makin sepi,hanya suara mesin cuci dan lagu dari radio tua.
Malia : Satu-satunya alasan aku mengajakmu berbicara disini ya karena itu, Bim
Bima : Talk then.
Malia : *Diam sejenak* I don't think I could survive in this situation
Bima : *menghela nafas* Bisa gak kamu gak melankolis gitu. Ini tuh berlebihan, kamu tahu konsekuensinya.
Malia : I did, I do. Tapi please, ini tuh bikin capek doang, Bim.
Bima : Sumpah yah Lia, aku gak peduli kamu mau jadi apa nantinya, you are still Malia yang aku kenal.
Malia : I am not... No more...If it still like this...
Bima : Li, kamu orang pertama yang se-tanah air dan se-ras sama aku, udah aku anggap
kamu sahabat, keluarga. Dan kamu mau bawa semua ini kedalam romantisme,
You are my fucking bestfriend, for a God sake!
Malia : Jangan teriak, please... *menghela nafas* persahabatan gak kaya gini Bim...
Bima : We do a casualty, sama kaya orang-orang disini
Malia : Aku, orang Indonesia Bim. Mau dibawa kebarat-baratan untuk hal seperti ini...
Bima : Kamu ngecewain aku, Li.
Malia : Kamu ngehancurin hidup aku.
Mereka berdua terdiam.
Malia : I think we should not meet each other.
Bima : Please...
Malia : No, I really meant it. I feel stupid. I don't fucking know what I am doing now.
Bima : Li, aku minta maaf
Malia : DON'T BE!
Bima : Li...
Bima hanya bisa menatap Malia yang sedang melipat pakaiannya dalam diam.
Tidak terasa air mata Malia jatuh.
Malia : Bima,it doesn't matter with things we did. But it matters with what's inside me,
what we called it as love, it is getting bigger. It is pure.
Bima : I am really sorry for what I've done to you, I swear
Malia : I just want to be honest, dan aku tahu kejujuran itu menyakitkan, and I know it is worth.
Bima : Aku bakal jadi pasangan yang buruk buat kamu.
Malia : Kamu pikir aku gak buruk?
Bima : Fredic naksir kamu, masa harus aku berantem sama temen sendiri?
Malia : Dan aku harus melawan perasaan aku sama orang yang udah ngertiin aku luar-dalam?
Bima : Justru itu Li, aku gak bis....
Malia : Harus nih aku ngemis sama kamu? Stop making any assumption!
Bima : Lia... I don't want to hurt you.
Malia : Why you such a denial, Bim?! Can't answer?!
Kesal,Malia merapikan cuciannya dengan tidak sabar, air matanya makin mengalir. Semua yang ia pendam selama bertahun-tahun keluar tanpa bisa ia bendung. Harga dirinya jatuh, persahabatannya hancur.
Malia : Anggap kita gak kenal yah.
Bima : Lia! apaan sih ngomong gitu, sini!
Malia : Kamu gak bisa nyuruh-nyuruh, kasih proteksi kamu, lewat keegoisan kamu dan difensif kamu,
untuk aku turuti. We adults, Bim. Cukup.
Dan aku terima kalau aku tidak bisa meraih hasil dari kejujuran ku.
Lalu dia keluar tanpa menoleh kebelakang sekali pun. Tanpa Bima sadari, Dia telah kehilangan setengah dari dirinya sejak tiga tahun yang lalu, Malia. Setelah kejaidan itu, Bima tidak pernah mendengar kabar Malia lagi.
Jam menunjukan pukul dua lewat lima belas menit. Mesin cuci masih bekerja di mode pengering dan lagu dari radio tua masih mengalun. Sampai suara pintu masuk berderit memecahkan keheningan Bima.
Malia berdiri disitu. Terpaku memandang ke arah Bima. Dengan rambut keriting, tanpa polesan bedak dan hanya memakai hoodie abu-abu. Matanya nanar bertanya dan berharap, namun dingin.
Ada penyesalan besar di dalam hati Malia, berandai dia tidak mengutarakan hatinya, mungkin dia tidak akan kehilangan Bima untuk selamanya.
Bima hanya bisa melihat Malia melewati deretan mesin cuci. memilah pakaian dan memasukannya kedalam mesin cuci.Perasaan menyesal juga menggerayangi tubuh Bima yang saat ini berupa plasenta transparan.
Tidak terlihat. Tidak berwujud.
Sejak jarak besar memisahkan mereka, dia menyadari perasaan untuk mencintai Malia sebenarnya sudah ada sejak pertama kali Malia menawarkan pewangi pakaiannya, dan Bima menyangkal segala perasaan itu atas nama persahabatan yang sebenarnya semu.
Hanya sebatas sebuah penglihatan antar dua dunia cinta Bima kepada Malia.