10.7.24

Dua Seperempat - Tujuh

 






A FICTION.







15.45
Waktu yang sama ketika aku pergi dan sekarang berdiri disini. 
tapi angin dan wangi nya berbeda. 
Aku berdiri dilapangan bola. 
Ini di dalam perumahan.
Rasanya familiar.
Aku berjalan ke arah warung di depanku, 
hanya ada bapak tua yang sedang mendengarkan radio. 
aku berdiri di depan, sayup - sayup terdengar jingle pergantian acara radio, 
lalu terdengar pembawa berita membacakan berita saat ini, April tahun 1999?
tahun 1999? 


Aku menyeritkan dahi, berusaha menahan mual di perut.
 baru terasa perjalanan tadi sangat aneh. 
  mau beli apa? tanya si bapak tua memecahkan lamunan ku. 
aku menggeleng. lalu berjalan ke arah lapangan bola. 
Si bapak tua memperhatikan ku dari atas ke bawah, mungkin aku terlihat aneh untuk ukuran tahun ini. 
aku mencari tempat duduk yang agak teduh dan jauh dari orang. sejujurnya aku tidak tahu harus apa, 
mau apa. 
tapi aku rasa aku tahu siapa yang aku tunggu. 

 
15.55 
aku tidak tahu pasti, tapi mungkin algoritma nya yang membawa kesini. 
aku memperhatikan sekitar, 
tukang siomay 
pengamen yang duduk-duduk
ada tukang sol sepatu
tukang parkir 
motornya, motor bapakku jaman dulu 
aku tersenyum, 
sedikit nostalgia membuat hatiku hangat. 
aku menutup mataku dan menarik nafas. 


DUG! 
sebuah bola mendarat kencang di kepalaku, sumpah pusing sekali. 
rombongan bocah laki-laki berlari,
mungkin 6 anak,  
berteriak-teriak saling menyalahkan satu sama lain tapi saling bercanda. 
hayolo hayolo! 
Aku hanya manyun melihat mereka,  sakit benar kepalaku. 
Sampai ada satu anak yang di dorong-dorong temannya. 
Tubuhnya kurus, rambutnya agak pirang, pakai jersey bola hitam putih, dan matanya melihat mataku. 
Mata yang sama yang aku kenal dari 20 tahun yang lalu, hanya matanya yang ini polos.
Bukan biasan mata yang letih akan hidup yang biasa aku lihat.
Yang ini matanya mirip mata anak perempuanku. 
 
Hatiku berdegup. 
figure anak kecil tapi rasanya aku kenal dia sudah lama.
Dia. 
Jadi, aku kesini untuk bertemu Dia. 
Teman-temannya masih mendorongnya.
Memakai celana bola, kakinya kurus kecil dan memakai sendal jepit.
Bajunya terlihat kebesaran untuk ukurannya. 
Mukanya seperti mau marah, tapi aku bisa melihat air mata sudah di ujung matanya. 
Hei Hei! 
Teriak ku berusaha menenangkan anak-anak itu agar tidak jadi adu jotos. 
Sudah Sudah! 
Sebelum ada darah dan tangis, akhirnya aku tarik anak itu, 
lengan tangannya kurus sekali. 
anak itu menunduk. 
eh gapapa, 
kataku menenangkan. 
Agak takut juga aku, nanti dikira mau menculik dia. 
Udah gapapa kok, jangan di dengerin. main lagi sana. 
kataku menenangkan, 
Dia mengangkat wajahnya. 
Rasanya aneh, semua yang aku tahu tentangnya dia terlalu tinggi dan besar untukku, 
tapi sekarang yang berdiri didepan ku,
jauh lebih rapuh. 

Matanya basah karena air mata. 
nafasnya naik turun, 
antara marah atau malu karena menangis. 
Aku berlutut di depannya agar bisa sejajar dengannya, 
matanya melihat mataku.
ingin rasanya bilang, 
Semua yang apa yang dia lakukan ke aku di 20 tahun kedepan, 
Semua yang apa yang kita lalui, 
Tangis, marah, tawa, bahagia, benci, cinta, sayang, 
Semua janji-janji kami,
dan semua yang tertulis dan yang terlupakan. 
Semua sumpah dan penghianatan, 
Semua perasaan yang terungkap dan tidak terungkap. 

tapi yang berdiri di depanku adalah dia hanya bocah 9 tahun sekarang, 
matanya berlinang air mata. 
dan aku pun juga. 

aku peluk dia
erat


Aku menangis, 
ku berbisik
maafkan aku
maafkan aku
maafkan aku ,
aku maafkan kamu
semua akan baik-baik saja.
Nafas dia mulai tenang, 
matanya masih terpejam. 
ku lepaskan pelukanku 
lalu ku berdiri, 
berjalan lurus membelakanginya,
 
16.32
Sekarang aku paham kenapa aku disini. 
Saatnya aku kembali,
Kembali ke tempat ku tadi datang. 
Kembali menemuinya ke 20 tahun kedepan.