15.11.14

Dua Seperempat - Lima

A FICTION.



Ketika aku berusia 5 tahun, aku ingat betul kado ulang tahun dari Ayah, sebuah boneka.
Bentuknya perempuan dan rambutnya keriting kuning. namanya Lucy.
Kamu belum lahir, mungkin. aku lupa, tapi aku benar-benar tidak bisa kehilangan boneka itu. 
Aku menganggapnya sahabat.
dari mandi, makan, sampai mengaji aku harus membawa boneka itu.
Ibu sampai takut kalau kalau aku ga bisa move on dari boneka itu kalau sudah mulai SD.
Sampai suatu hari, kamu ingat Jimmy kan, tetangga kita yang nakal itu, menyeretnya ketika aku lengah,
Di celupkan ke got, lalu di injak injak. 
Itu lah pertama kali aku merasa benar benar sedih, sakit hati, marah yang amat sangat murka.
Butuh dua minggu Ibu menenangkan aku, ikut les balet biar lupa, ikut karate biar marahku terlampiaskan.


Kamu gak minta lagi boneka model yang sama begitu?


Emm, engga kayaknya. Malam beberapa minggu setelah kejadian itu, Ayah bilang gak bagus suka sama benda sampai segitunya. dan setelah beberapa kali aku sakit hati dan putus cinta, rasanya perasaan murka kehilangan Lucy rasanya muncul lagi dan lalu muncul kata kata Ayah itu. dan aku ngerti.


Ngerti apa?


You can't be dependent with one person or one thing. Semua itu ga ada yang everlasting, terutama saat aku murka terhadap kabel kabel ini semua, dan ruang isolator ini. Mau upaya apa pun, ga bakal semua kembali seperti semua.


Mungkin, memang ga bisa seperti semula, tapi bisa kalau kamu mau ikutin dan semangat sama treatment ini. 
Semua support kamu, harapan itu ada.


Apa aku terlihat hopeless

Bukan seperti itu, kamu tegar tapi kamu getir. cobalah kamu positif sedikit.


Kita pernah satu rahim, masa kamu ga tau sih aku gimana?


Aku menghela nafas. Tidak ada guna memaksa bicara wanita luar biasa ini.
Minum dulu lah. dan usahakan tiduran.


Ndre?

Ya, mba?

Aku stadium 4 dan aku gak bakal minta apa apa sama kamu. Aku ga mau dramatisir semua ini. 


Dia menyalakan rokoknya. Aku terdiam.


Take all as normal as we can. Biarkan anak-anakku berkembang sendirinya, aku hanya bisa wariskan buku, Kalau Anto mau menikah lagi, ingatkan Ibu untuk jangan marah dan biarkan saja, dia sudah tidak terikat dengan aku lagi nanti. 
Ini satu satunya jalan agar kita semua bisa hidup seperti semula. Anggaplah aku dinas, aku berlibur, aku nginep dirumah Dina, aku sedang menyelesaikan research-ku, tidak ada yang beda. Tidak boleh ada yang menangis, tidak. karena aku berjuang bertahun-tahun, aku tak pantas diberi air mata.


Mendadak aku benci kaca pemisah ruangan isolasi ini. Mau ku pecahkan agar bisa memegang tangannya, memeluknya.
Dia menghisap rokoknya. Tangannya bagaikan tangkai bunga bertancapkan selang-selang infus, bajunya kebesaran, seperti anak kecil yang memakai baju daster ibunya dan matanya, matanya lelah dan layu di kelopak, 
tapi masih berbinar dibola sinarnya yang tegas.


Aku meninggalkan ruang isolasi, langkahku gontai dan ku dengar derap suster yang panik.
Tapi anehnya, semua terasa biasa saja.